Welcome to Blog Safari

A theme for those who love something unique and creative, created by Template Trackers

ASKEP MENINGITIS (RADANG PADA MENINGEN)

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN MENINGITIS

A.    Definisi
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).

B.    Etiologi
1.    Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa
2.    Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia
3.    Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita
4.    Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan
5.    Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6.    Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan


C.    Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :
1.    Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2.    Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.

C.    Patofisiologi
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.

D.    Manifestasi klinis
Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1.    Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2.    Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
3.    Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a)    Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b)    Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c)    Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
4.    Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5.    Kejang akibat area  fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
6.    Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
7.    Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata

E.    Pemeriksaan Diagnostik
1.    Analisis CSS dari fungsi lumbal :
a)    Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.
b)    Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
2.    Glukosa serum : meningkat ( meningitis )
3.    LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )
4.    Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi bakteri )
5.    Elektrolit darah : Abnormal .
6.    ESR/LED :  meningkat pada meningitis
7.    Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
8.    MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
9.    Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.

F.    Komplikasi
1.    Hidrosefalus obstruktif
2.    MeningococcL Septicemia ( mengingocemia )
3.    Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
4.    SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )
5.    Efusi subdural
6.    Kejang
7.    Edema dan herniasi serebral
8.    Cerebral palsy
9.    Gangguan mental
10.    Gangguan belajar
11.    Attention deficit disorder
.
G.    Asuhan Keperawatan
1.    Pengkajian
a)    Biodata klien
b)    Riwayat kesehatan yang lalu
(1)    Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
(2)    Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
(3)    Pernahkah operasi daerah kepala ?
c)    Riwayat kesehatan sekarang
(1)    Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.
(2)    Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia.
(3)    Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
(4)    Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan. Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering.
(5)    Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.


(6)    Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman. Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi, kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.
(7)    Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal). Tanda : gelisah,  menangis.
(8)    Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja pernafasan.

2.    Diagnosa keperawatan
a)    Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen
b)    Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
c)    Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan umum, vertigo.
d)    Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.
e)    Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan
f)    Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.



3.    Intervensi keperawatan
a)    Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen.
Mandiri
    Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
    Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
    Pantau suhu secara teratur
    Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus
    Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nfas dalam
    Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )
Kolaborasi
    Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin.

b)    Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
Mandiri
    Tirah baring dengan posisi kepala datar.
    Pantau status neurologis.
    Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang
    Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan haluaran.
    Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.
Kolaborasi.
    Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
    Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).
    Pantau BGA.
    Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen

c)    Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal, kelemahan umum vertigo.
Mandiri
    Pantau adanya kejang
    Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan
    Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin, diaepam, venobarbital.

d)    Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.
Mandiri.
    Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot leher.
    Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)
    Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
    Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul
Kolaborasi
    Berikan anal getik, asetaminofen,  codein

e)    Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
    Kaji derajat imobilisasi pasien.
    Bantu latihan rentang gerak.
    Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
    Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau air perhatikan kesejajaran tubuh secara fumgsional.
    Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.



f)    Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis
    Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan, sensorik dan proses pikir.
    Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
    Observasi respons perilaku.
    Hilangkan suara bising yang berlebihan.
    Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
    Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
    Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.

g)    Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
    Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
    Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.
    Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
    Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk sumber penyokong.
H.    Evaluasi
Hasil yang diharapkan
1.    Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi endogen atau keterlibatan orang lain.
2.    Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.
3.    Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.
4.    Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.
5.    Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan kekuatan.
6.    Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
7.    Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang situasi.
DAFTAR PUSTAKA


1.    Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa, I Made Kariasa, N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.

2.    Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

3.    Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.

4.    Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998.

5.    Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.

6.    Long, Barbara C. perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan; 1996.





ASKEP LOW BACK PAIN (NYERI PUNGGUNG)

LOW BACK PAIN
A.     Definisi
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual maupun potensial. Definisi keperawatan tentang nyeri adalah, apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu/seseorang yang mengalaminya, yang ada kapanpun orang tersebut mengatakannya(2) . Peraturan utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah bahwa semua nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya tidak diketahui. Oleh karena itu, keberadaan nyeri adalah berdasarkan hanya pada laporan pasien.
Low Back Pain (LBP) atau Nyeri punggung bawah adalah suatu sensasi nyeri yang dirasakan pada diskus intervertebralis umumnya lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1 (2,4).
B.    Etiologi
Kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan oleh salah satu dari berbagai masalah muskuloskeletal (misal regangan lumbosakral akut, ketidakstabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, osteoartritis tulang belakang, stenosis tulang belakang, masalah diskus intervertebralis, ketidaksamaan panjang tungkai).  Penyebab lainnya meliputi obesitas, gangguan ginjal, masalah pelvis, tumor retroperitoneal, aneurisma abdominal dan masalah psikosomatik. Kebanyakan nyeri punggung akibat gangguan muskuloskeletal akan diperberat oleh aktifitas, sedangkan nyeri akibat keadaan lainnya tidak dipengaruhi oleh aktifitas (2,4) .
C.    Patofisiologi
Struktur spesifik dalam system saraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai system nosiseptif. Sensitifitas dari komponen system nosiseptif dapat dipengaruhi oleh sejumlah factor dan berbeda diantara individu. Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. Sensasi sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain(1,3).
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak, dimana stimuli tersebut sifatnya bisa kimia, mekanik, termal. Reseptor nyeri merupakan jaras multi arah yang kompleks. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah local. Sel-sel mast, folikel rambut dan kelenjar keringat. Stimuli serabut ini mengakibatkan pelepasan histamin dari sel-sel mast dan mengakibatkan vasodilatasi. Serabut kutaneus terletak lebih kearah sentral dari cabang yang lebih jauh dan berhubungan dengan rantai simpatis paravertebra system saraf dan dengan organ internal yang lebih besar. Sejumlah substansi  yang dapat meningkatkan transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan substansi P. Prostaglandin dimana zat tersebut yang dapat meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari bradikinin. Substansi lain dalam tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri adalah endorfin dan enkefalin yang ditemukan dalam konsentrasi yang kuat dalam system saraf pusat(1,3).
Kornu dorsalis dari medulla spinalis merupakan tempat memproses sensori, dimana agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada system assenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Proses nyeri terjadi karena adanya interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi  nyeri(1,3).
Patofisiologi Pada sensasi nyeri punggung bawah dalam hal ini kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang yang elastik yang tersusun atas banyak unit vertebrae dan unit diskus intervertebrae yang diikat satu sama lain oleh kompleks sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain tetap dapat memberikanperlindungan yang maksimal terhadap sum-sum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting ada aktifitas mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini. Obesitas, masalah postur, masalah struktur dan peregangan berlebihan pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung(2,4).
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan tak teratur. Degenerasi diskus intervertebra merupakan penyebab nyeri punggung biasa. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S6, menderita stress paling berat dan perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis, yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut (2,4).
D.    Manifestasi Klinis
Pasien biasanya engeluh nyeri punngung akut maupun nyeri punggung kronis dan kelemahan. Selama wawancara awal kaji lokasi nyeri, sifatnya dan penjalarannya sepanjang serabut saraf (sciatica), juga dievaluasi cara jalan pasien, mobilitas tulang belakang, refleks, panjang tungkai, kekuatan motoris dan persepsi sensoris bersama dengan derajat ketidaknyamanan yang dialaminya. Peninggian tungkai dalam keadaan lurus yang mengakibatkan nyeri menunjukkan iritasi serabut saraf.
Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya spasme otot paravertebralis (peningkatan tonus otot tulang postural belakang yang berlebihan) disertai hilangnya lengkungan lordotik lumbal yang normal dan mungkin ada deformitas tulang belakang. Bila pasien diperiksa dalam keadaan telungkup, otot paraspinal akan relaksasi dan deformitas yang diakibatkan oleh spasme akan menghilang.
Kadang-kadang dasar organic nyeri punggung tak dapat ditemukan. Kecemasan dan stress dapat membangkitkan spasme otot dan nyeri. Nyeri punggung bawah bisa merupakan anifestasi depresi atau konflik mental atau reaksi terhadap stressor lingkungan dan kehidupan. Bila kita memeriksa pasien dengan nyeri punngung bawah, perawat perlu meninjau kembali hubungan keluarga, variable lingkungan dan situasi kerja (2,4).
E.    Evaluasi Diagnostik
Prosedur diagnostik perlu dilakukan pada pasien yang mendertita nyeri punggung bawah. Sinar X- vertebra mungkin memperlihatkan adanya fraktur, dislokasi, infeksi, osteoartritis atau scoliosis. Computed Tomografi (CT) berguna untuk mengetahui penyakit yang mendasari, seperti adanya lesi jaringan lunak tersembunyi disekitar kolumna vertebralis dan masalah diskus intervertebralis. USG dapat membantu mendiagnosa penyempitan kanalis spinalis. MRI memungkinkan visualisasi sifat dan lokasi patologi tulang belakang (2).


F.    Penatalaksanaan
Kebanyakan nyeri punggung bisa hilang sendiri dan akan sembuh dalam 6 minggu dengan tirah baring, pengurangan stress dan relaksasi. Pasien harus tetap ditempat tidur dengan matras yang padat dan tidak membal selama 2 sampai 3 hari. Posisi pasien dibuat sedemikian rupa sehingga fleksi lumbal lebih besar yang dapat mengurangi tekanan pada serabut saraf lumbal. Bagian kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat dan pasien sedikit menekuk lututnya atau berbaring miring dengan lutu dan panggul ditekuk dan tungkai dan sebuah bantal diletakkan dibawah kepala. Posisi tengkurap dihindari karena akan memperberat lordosis. Kadang-kadang pasien perlu dirawat untuk penanganan “konservatif aktif” dan fisioterapi. Traksi pelvic intermiten dengan 7 sampai 13 kg beban traksi. Traksi memungkinkan penambahan fleksi lumbal dan relaksasi otot tersebut.
Fisioterapi perlu diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. Terapi bisa meliputi pendinginan (missal dengan es), pemanasan sinar infra merah, kompres lembab dan panas, kolam bergolak dan traksi. Gangguan sirkulasi , gangguan perabaan dan trauma merupakan kontra indikasi kompres panas. Terapi kolam bergolak dikontraindikasikan bagi pasien dengan masalah kardiovaskuler karena ketidakmampuan mentoleransi vasodilatasi perifer massif yang timbul. Gelombang ultra akan menimbulkan panas yang dapat meningkatkan ketidaknyamanan akibat pembengkakan pada stadium akut.
Obat-obatan mungkin diperlukan untuk menangani nyeri akut. Analgetik narkotik digunakan untuk memutus lingkaran nyeri, relaksan otot dan penenang digunakan untuk membuat relaks pasien dan otot yang mengalami spasme, sehingga dapat mengurangi nyeri. Obat antiinflamasi, seperti aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), berguna untuk mengurangi nyeri. Kortikosteroid jangka pendek dapat mengurangi respons inflamasi dan mencegah timbulnya neurofibrosis yang terjadi akibat gangguan iskemia (2,4).
G.    Pengkajian
Pasien nyeri pungung dibimbing untuk menjelaskan ketidaknyamanannya (missal lokasi, berat, durasi, sifat, penjalaran dan kelemahan tungkai yang berhubungan). Penjelasan mengenai bagaimana nyeri timbul dengan tindakan tertentu atau dengan aktifitas dimana otot yang lemah digunakan secara berlebihan dan bagaimana pasien mengatasinya. Informasi mengenai pekerjaan dan aktifitas rekreasi dapat membantu mengidentifikasi area untuk pendidikan kesehatan.
Selama wawancara ini, perawat dapat melakukan observasi terhadap postur pasien, kelainan posisi dan cara jalan. Pada pemeriksaan fisik, dikaji lengkungan tulang belakang, Krista iliakan dan kesimetrisan bahu. Otot paraspinal dipalpasi dan dicatat adanya spasme dan nyeri tekan. Pasien dikaji adanya obesitas karena dapay menimbulkan nyeri punggung bawah (2).
H.    Diagnosa Keperawatan (2)
1.    Nyeri b.d masalah muskuloskeletal
2.    Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, dan berkurangnya kelenturan
3.    Kurang pengetahuan b.d teknik mekanika tubuh melindungi punggung
4.    Perubahan kinerja peran b.d gangguan mobilitas dan nyeri kronik
5.    Gangguan nutrisi : lebih dari kebutuhan tubuh b. d obesitas
I.    Intervensi dan Implementasi (2)
1.    Meredakan nyeri
Untuk mengurangi nyeri perawat dapat menganjurkan tirah baring dan pengubahan posisi yang ditentukan untuk memperbaiki fleksi lumbal. Pasien diajari untuk mengontrol dan menyesuaikan nyeri yang dilakukan melalui pernafasan diafragma dan relaksasi dapat membantu mengurangi tegangan otot yang berperan pada nyeri punggung bawah. Mengalihkan perhatian pasien dari nyeri dengan aktifitas lain missal membaca buku, menonton TV maupun dengan imajinasi (membayangkan hal-hal yang menyenangkan dengan memusatkan perhatian pada hal tersebut).
Masase jaringan lunak dengan lembut sangat berguna untuk mengurangi spasme otot, memperbaiki peredaran darah dan mengurangi pembendungan serta mengurangi nyeri. Bila diberikan obat perawat harus mengkaji respon pasien pada setiap obat.
2.    Memperbaiki mobilitas fisik
Mobilitas fisik dipantau melalui pengkajian kontinu. Perawat mengkaji bagaimana pasien bergerak dan berdiri. Begitu nyeri punggung berkurang, aktifitas perawatan diri boleh dilakukan dengan regangan yang minimal pada struktur yang cedera. Perubahan posisi harus dilakukan perlahan dan dibatu bila perlu. Gerakan memutar dan melenggok perlu dihindari. Pasien didorong untuk berganti-ganti aktifiats berbaring, duduk dan berjalan-jalan dalam waktu lama. Perawat perlu mendorong pasien mematuhi program latihan sesuai yang ditetapkan, latihan yang salah justru tidak efektif.
3.    Meningkatkan mekanika tubuh yang tepat
    Pasien harus diajari bagaimana duduk, berdiri, berbaring dan mengangkat barang dengan benar.
4.    Pendidikan kesehatan
    Pasien harus diajari bagaimana duduk, berdiri, berbaring dan mengangkat barang dengan benar
5.    Memperbaiki kinerja peran
Tanggung jawab yang berhubungan dengan peran mungkin telah berubah sejak terjadinya nyeri punggung bawah. Begitu nyeri sembuh, pasien dapat kembali ke tanggung jawab perannya lagi. Namun bila aktifitas ini berpengaruh terhadap terjadinya nyeri pungung bawah lagi, mungkin sulit untuk kembali ke tanggung jawab semula tersebut tanpa menanggung resiko terjadinya nyeri pungggung bawah kronik dengan kecacatan dan depresi yang diakibatkan.
6.    Mengubah nutrisi dan penurunan berat badan
Penurunan BB melalui penyesuaian cara makan dapat mencegah kekambuhan nyeri punggung, dengan melalui rencana nutrisi yang rasional yang meliputi perubahan kebaisaaan makan untuk mempertahankan BB yang diinginkan.
J.    Evaluasi (2)
1.    Mengalami peredaan nyeri
-    Istirahat dengan nyaman
-    Mengubah posisi dengan nyaman
-    Menghindari ketergantungan obat
2.    Menunjukkan kembalinya mobilitas fisik
-    Kembali ke aktifitas secara bertahap
-    Menghindari posisi yang menyebabkan yang menyebabkan ketidaknyamanan otot
-    Merencanakan istirahat baring sepanjang hari
3.    Menunjukkan mekanika tubuh yang memelihara punggung
-    Perbaikan postur
-    Mengganti posisi sendiri untuk meminimalkan stress punggung
-    Memperlihatkan penggunaan mekanika tubuh yang baik
-    Berpartisipasi dalam program latihan
4.    Kembali ke tanggung jawab yang berhubungan dengan peran
-    Menggunakan teknik menghadapi masalah untuk menyesuaikan diri dengan situasi stress
-    Memperlihatkan berkurangnya ketergantungan kepada orang lain untuk perawatan diri
-    Kembali ke pekerjaan bila nyeri punggung telah sembuh
-    Kembali ke gaya hidup yang produktif penuh
5.    Mencapai BB yang diinginkan
-    Mengidentifikasi perlunya penurunan BB
-    Berpartisipasi dalam pengembangan rencana penurunan BB
-    Setia dengan program penurunan BB
Daftar Pustaka :
1.    Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1, EGC, Jakarta, 2002
2.    Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3, EGC, Jakarta, 2002
3.    Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot, Philadelphia, 2000
4.    Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC, Jakarta, 1997



ASKEP NEURALGIA TRIGEMINAL

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar belakang
Di indonesia, jumlah penderita neuralgia trigeminal (NT) diperkirakan mencapai 30.000 orang yang terdeteksi. Menurut sofyanto, nyeri yang dirasakan pada penderita NT serangannya sangat mendadak dan sakitnya tidak terhingga. Rasanya bagaikan ditusuk seribu jarum, tersambar petir atau obeng yang dimasukan dan dikeluarkan dari hidung yang diakibatkan adanya masalah disaraf trigeminal
Dia mengatakan, penyakit langka ini sulit disembuhkan dengan cepat karena didalam otak terdapat 12 pasang saraf, jika terganggu akan timbul masalah. Jika saraf trigeminal yang terganggu, muncul nyeri pada hidung, wajah dan gigi. Dia menegaskan, penyakit ini timbul bukan karena gigi, melainkan stres, kelelahan atau pun kecemasan pada penderita, dikatakan penyakit langka ini biasanya diderita oleh orang yang usianya diatas 40 tahun, karena diusia tersebut otak manusia mengecil. Secara anatomi akan menyebabkan perubahan posisi organ-organ yang ada disekitarnya termasuk pembuluh darah yang ada disaraf  batang otak
Prevalensi penyakit ini diperkirakan 107,5 pada lelaki dan 200,2 pada perempuan per 1 juta populasi penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi kanan wajah dibandingkan dengan sisi kiri (rasio 3:2) dan merupakan penyakit pada kelompok usia dewasa.
Dari masalah diatas sebagai calon perawat kita wajib memahami gangguan yang terjadi pada  sistem saraf khususnya nervus ke-7 yaitu trigeminal. Oleh sebab itu kelompok mengangkat masalah ini menjadi makalah.
B.    Tujuan khusus dan umum
1.    Tujuan umum
Setelah membahas asuhan keperawatan pada klien dengan neuroglia trigeminal mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada klien dengan neuroglia trigeminal.
2.    Tujuan khusus
Setelah membahas tentang “Asuhan Keperawatan neuroglia trigeminal” mahasiswa mampu :
a.    Memahami dan menjelaskan Konsep Penyakit neuroglia trigeminal.
b.    Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan neuroglia trigeminal.
c.    Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan neuroglia trigeminal sesuai kasus.

C.    Metode penulisan
Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode deskriptif, yang diperoleh dari literature dari berbagai media baik buku maupun internet yang disajikan dalam bentuk makalah.
D.    Sistem penulisan
Sistematika dalam penulisan makalah ini adalah :
BAB I    : Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan, Metode, dan Sistematika Penulisan.
BAB II    : Terdiri dari Konsep Penyakit neuroglia trigeminal, Asuhan Keperawatan neuroglia trigeminal, Kasus neuroglia trigeminal.
BAB III    : Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran

BAB II
Tinjauan teori

A.    Ringkasan konsep berbagai penyakit
ANATOMI NERVUS TRIGEMINUS
Nervus Trigeminus merupakan nervus cranialis yang terbesar dan melayani arcus branchialis pertama. Nervus ini mengandung serat-serat branchiomotorik dan aferen somatik umum (yang terdiri atas komponen ekteroseptif dan komponen proprioseptif), dengan nuclei sebagai berikut :
a.    Nucleus Motorius Nervi Trigemini
Dari nucleus ini keluar serat-serat branchiomotorik yang berjalan langsung ke arah ventrolateral menyilang serat-serat penduculus cerebellaris medius (fibrae pontocerebellares) dan pada akhirnya akan melayani m. Masticatores melalui rami motori nervi mandibularis dan m. Tensor Veli Palatini serta m. Mylohyoideus.
b.    Nucleus Pontius, Nervi Trigemini dan Nucleus Spinalis Nervi Trigemini.
Kedua Nucleus ini menerima impuls-impuls eksteroseptif dari daerah muka dan daerah calvaria bagian ventral sampai vertex.
Di antara kedua nucleus diatas terdapat perbedaan fungsioal yang penting : di dalam nucleus Pontius berakhir serat-serat aferen N. V yang relatif kasar, yang mengantarkan impuls-impuls rasa raba, sedangkan nucleus spinalis N. V terdiri atas sel-sel neuron keci; dan menerima serat-serat N. V yang halus yang mengantarkan impuls-impuls eksteroseptif  nyeri dan suhu.

B.    Konsep penyakit Trigeminal Neuralgia
1.    Definisi
Adalah serangan nyeri wajah pada area persarafan nervus trigeminus pada satu cabang atau lebih secara progsismal berupa rasa nyeri tajam, terkadang disertai kontraksi otot-otot (Rose C.F. 1997). 
Adalah penyakit yang disebabkan oleh sentuhan atau penekanan pembuluh darah pada syaraf  ke 5 yaitu saraf nervus kranialis terbesar yang mengatur rasa wajah yang letaknya disekitar batang otak.
 neuralgia trigeminal berarti nyeri pada nervus trigeminus, yang menghantarkan rasa nyeri menuju kewajah. Neuralgia trigeminal adalah suatu keadaan yang mempengaruhi N. V nervus kranialis terbesar.

2.    Etiologi
Neuralgia trigeminus (tic douloureux) ditandai oleh serangan nyeri paroksismal yang tajam menyengat atau menyetrum, berlangsung singkat (detik atau menit), unileteral pada daerah distribusi nervus V (trigeminus). Cabang ke tiga dan ke dua dari nervus trigeminus paling sering terkena dan titik pemicu nyeri seringkali ditemukan didaerah wajah terutama diatas lubang hidung dan mulut. Serangan terjadi spontan atau sedang menggosok gigi, bercukur, mengunyah, menyap atau menelan.
Pada 90% pasien, mula timbulnya diatas usia 40 tahun, dan wanita lebih sering terkena dari pada pria. Sebagian besar etiologi tidak dapat ditemukan. Bila disertai hipestesia pada daerah distribusi N.V, paresis saraf kranial lainnya, atau mulai timbul sebelum usia 40 tahun, maka harus dicurigai neuroglia trigeminus simtomatik atau atipik. Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mencari adanya sklerosis multipel, tumor saraf trigeminus, atau tumor fosa posterior.
Mekanisme patofisiologis yang mendasari NT belum begitu pasti, walau sudah sangat banyak penelitian dilakukan. Kesimpulan Wilkins, semua teori tentang mekanisme harus konsisten dengan:
1. Sifat nyeri yang paroksismal, dengan interval bebas nyeri yang
lama.
2. Umumnya ada stimulus ‘trigger’ yang dibawa melalui aferen
berdiameter besar (bukan serabut nyeri) dan sering melalui divisi saraf kelima diluar divisi untuk nyeri.
3. Kenyataan bahwa suatu lesi kecil atau parsial pada ganglion
gasserian dan/ atau akar-akar saraf sering menghilangkan
nyeri.
4. Terjadinya NT pada pasien yang mempunyai kelainan
demielinasi sentral (terjadi pada 1% pasien dengan sklerosis
multipel)
Kenyataan ini tampaknya memastikan bahwa etiologinya adalah sentral dibanding saraf tepi. Paroksisme nyeri analog dengan bangkitan dan yang menarik adalah sering dapat dikontrol dengan obat-obatan anti kejang (karbamazepin dan fenitoin).
Tampaknya sangat mungkin bahwa serangan nyeri mungkin menunjukkan suatu cetusan ‘aberrant’ dari aktivitas neuronal yang mungkin dimulai dengan memasukkan input melalui saraf kelima, berasal dari sepanjang traktus sentral saraf kelima, atau pada tingkat sinaps sentralnya. Berbagai keadaan patologis menunjukkan penyebab yang mungkin pada kelainan ini.
Pada kebanyakan pasien yang dioperasi untuk NT ditemukan adanya kompresi atas ‘nerve root entry zone’ saraf kelima pada batang otak oleh pembuluh darah (45-95% pasien). Hal ini meningkat sesuai usia karena sekunder terhadap elongasi arteria karena penuaan dan arteriosklerosis dan mungkin sebagai penyebab pada kebanyakan pasien.
Otopsi menunjukkan banyak kasus dengan keadaan penekanan vaskuler serupa tidak menunjukkan gejala saat hidupnya. Kompresi nonvaskuler saraf kelima terjadi pada beberapa pasien. 1-8% pasien menunjukkan adanya tumor jinak sudut serebelopontin (meningioma, sista epidermoid, neuroma akustik, AVM) dan kompresi oleh tulang (misal sekunder terhadap penyakit Paget). Tidak seperti kebanyakan pasien dengan NT, pasien ini sering mempunyai gejala dan/atau tanda defisit saraf kranial.
Penyebab lain yang mungkin, termasuk cedera perifer saraf kelima (misal karena tindakan dental) atau sklerosis multipel, dan beberapa tanpa patologi yang jelas.

3.    Tanda dan gejala
Serangan Trigeminal Neuralgia daoat berlangsung dalam beberapa detik sampai menit. Beberapa orang merasakan sakitringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup kerap, berat, seperti nyeri saat kena setrumlistrik. Penderita Trigeminal neuralgia yang berat menggambarkan rasa sakitnya seperti ditembak, kena pukulan jab, atau ada kawat di sepanjang wajahnya.Serangan ini hilang timbul. Bisa jadi dalam sehari tidak ada rasa sakit. Namun, bisa juga sakit menyerang setiap hari atau sepanjang Minggu. Lalu, tidak sakit lagi selama beberapa waktu. Trigeminal neuralgia biasanya hanya terasa di satu sisi wajah, tetapi bisa juga menyebar dengan pola yang lebih luas. Jarang sekali terasa di kedua sisi wajah dlm waktu bersamaan.
 Pada beberapa penderita, mata, telinga atau langit-langit mulut dapat pula terserang. Pada kebanyakan penderita, nyeri berkurang saat malam hari, atau pada saat penderita berbaring

4.    Patofisiologi
Neuralgia Trigeminal dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang melibatkan sistem persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak. Lima sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada sudut serebelo-pontin seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena sklerosis multipel. Ada sebagian kasus yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia Trigeminal bisa mempunyai penyebab perifer maupun sentral.
Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf ini, apapun penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi segmental pada nukleus/ inti saraf ini yang menimbulkan produksi ectopic action potential pada saraf Trigeminal. Keadaan ini, yaitu discharge neuronal yang berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur sensorik yang hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri. Aksi potensial antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri trigerminal yang paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.
Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui bekerja secara sentral membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi. Tentang bagaimana multipel sklerosis bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan akan adanya demyelinating plaques pada tempat masuknya saraf, atau pada nukleus sensorik utama nervus trigeminus.
5.    Pathway
6.    Pemeriksaan penunjang
MRI dan CT-scan hanya dilakukan atas indikasi, misalnya terdapat kecurigaan penekanan radiks N. V oleh aneurisma, meningioma atau akibat


7.    Penatalaksanaan medis
Pengobatan pada dasarnya dibagi atas 3 bagian:
1. Penatalaksanaan pertama dengan menggunakan obat.
2. Pembedahan dipertimbangkan bila obat tidak berhasil secara memuaskan.
3. Penatalaksanaan dari segi kejiwaan.

1.    Terapi Medis (Obat)
•    Fenitoin. Banyak pasien yang memberikan respon baik terhadap penitoin saja (200-300 mg/hr)
•    Karbamazepin. Sekitar 80% pasien memberikan respon baik terhadap pengobatan awal dengan karbamazepin (400-1200 mg/hari). Respon terhadap karbamazepin bermenfaat untuk membedakan neuroglia trigeminus dari kasus nyeri fasial atipik tertentu. Baik fenitoin maupun karbamazepin dapat menimbulkan ataksia (terutama bila dipakai bersamaan). Komplikasi karbamazepin yang jarang adalah leukopenia, trombositopenia, dan gangguan fungsi hati, oleh sebab itu perlu pemantauan leukosit darah secara berkala, hitung trombosit dan fungsi hati. Setelah perbaikan awal, banyak pasien mengalami nyeri kambuhan meskipun kadar kedua obat ini dalam darah mencukupi
•    Baklofen (Lioresal) dapat memberikan perbaikan pada beberapa pasien. Baklofen dapat diberikan tersendiri atau kombinasi dengan fenitoin atau karbamazepin. Dosis awal yang lazim adalah 5-10mg, tiga kali sehari, dengan peningkatan perlahan-lahan bila diperlukan, sampai 20mg empat kali sehari
•    Klonazepam. Beberapa laporan menunjukan bahwa obat ini efektif pada beberapa kasus, dengan dosis 0,5-1,0 mg per oral, 3 kali sehari.

2.    Terapi Non-Medis (
Tindakan operasi. Tindakan ini dilakukan bila semua upaya terapi farmakologis tidak berhasil. Tiga prosedur yang sering dipakai dalam pengobatan neuroglia trigeminus adalah :
1.    Rizotomi termal selektif radiofrekuensi pada ganglion atau radiks trigeminus yang dilakukan melalui kulit dengan anestesia lokal dosertai barbiturat kerja singkat. Efek samping tindakan ini adalah anestesia dolorosa. Tindakan untuk destruksi serabut-serabut nyeri dalam nervus trigeminus dapat dilakukan juga dengan bedah dingin (cryosurgery) dan inflasi balon dalam rongga meckel
2.    Injeksi gliserol ke dalam sisterna trigeminus (rongga meckel) dapat dilakukan perkutan. Tindakan ini dapat menyembuhkan nyeri dengan gangguan sensorik pada wajah yang minimal.
Bagi kebanyakan pasien, terutama yang lebih muda, kraniektomi suboksipital dengan bedah mikro untuk memperbaiki posisi pembuluh darah yang menekan radiks saraf trigeminus pada tempat masuknya di pons, lebih dapat diterima karena tidak menyebabkan defisit sensorik.
3.    Penatalaksanaan dari Segi Kejiwaan
Hal lain yang penting untuk diperhatikan selain pemberian obat dan pembedahan adalah segi mental serta emosi pasien. Selain obat-obat anti depresan yang dapat memberikan efek perubahan kimiawi otak dan mempengaruhi neurotransmitter baik pada depresi maupun sensasi nyeri, juga dapat dilakukan teknik konsultasi biofeedback (melatih otak untuk mengubah persepsinya akan rasa nyeri) dan teknik relaksasi.
8.    Komplikasi


C.    Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan neuralgia trigeminus
1.    Pengkajian
2.    Diagnosa keperawatan
3.    Perencanaan
4.    Pertimbangan pediatrik dan gerontik
D.    Kasus
1.    Contoh
2.    Analisis data
3.    Diagnosa keperawatan
4.    Perencanaan
5.    Implementasi
6.    Evaluasi

BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
Neuralgia Trigeminal merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang, disebut Trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal. Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf Trigeminal sesuai dengan daerah distribusi persarafan salah satu cabang saraf Trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak.
Kunci diagnosis adalah riwayat. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi nyeri dan terjadinya ’serangan’ nyeri dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya. Beberapa kasus mulai pada divisi 1. Biasanya, serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek (kurang dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf Trigeminal, misalnya bagian rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terpancing bila suatu daerah tertentu dirangsang (trigger area atau trigger zone).Trigger zones sering dijumpai di sekitar cuping hidung atau sudut mulut.
Obat untuk mengatasi Trigeminal neuralgia biasanya cukup efektif. Obat ini akan memblokade sinyal nyeri yang dikirim ke otak, sehingga nyeri berkurang. Bila ada efek samping, obat lain bisa digunakan sesuai petunjuk dokter tentunya.
Beberapa obat yang biasa diresepkan antara lain Carbamazepine (Tegretol, Carbatrol), Baclofen. Ada pula obat Phenytoin (Dilantin, Phenytek), atau Oxcarbazepine (Trileptal). Dokter mungkin akan memberi Lamotrignine (Lamictal) atau Gabapentin (Neurontin). Pasien Trigeminal neuralgia yang tidak cocok dengan obat-obatan bisa memilih tindakan operasi.

ASKEP BELL PALSY

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena dari pada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan .
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan.Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

B.    TUJUAN PENULISAN
1.    Tujuan umum
Untuk memberi gambaran dan ilmu pengetahuan tentang konsep dasar penyakit bells’ palsy. Dan agar mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit bell’s palsy.
2.    Tujuan khusus
a.    Mahasiswa mampu memahami anatomi bells palsy.
b.    Mahasiswa mampu memahami definisi bells palsy.
c.    Mahasiswa mampu memahami etiologi bells palsy.
d.    Mahasiswa mampu memahami patofisiologi serta partway bells palsy.
e.    Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis bells palsy.
f.    Mahasiswa mampu memahami pentalaksanan bells palsy
g.    Mahasiswa mampu memahami komplikasi dan prognosis bells palsy.
h.    Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan penunjang bells palsy.
i.    Mahasiswa mampu memahami asuhan keperwatan bells palsy yang diambil dari kasus.






C.    METODE PENULISAN
            Adapun metode penulisan pada makalah ini dengan metode deskriptif dan melalui pengumpulan literatur dari berbagai sumber. Dalam penyampaian ini kami menggunakan metode presentasi supaya audient dapat dengan mudah mencerna materi ini.
D.    SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan pada makalah ini yaitu :
Bab I  :    Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, metode penulisan dan sistematika Penulisan.
Bab II :    Tinjauan teoritis terdiri dari Konsep Dasar Penyakit Bell’s palsy (Pengertian, anatomi, etiologi, manifestasi klinik, parthway, prognosis penyakit, patofisiologi,  pemeriksaan penunjang, komplikasi dan penatalaksanaan), dan Asuhan Keperawatan Bell’s palsy (Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Rencana Asuhan Keperawatan dan Evaluasi).
BAB III:     Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA









BAB II
TINJAUAN TEORI
KONSEP DASAR PENYAKIT BELL’S PALSY
A.    ANATOMI
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1.    Serabut somato motorik
Serabut somato motorik yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (nervus III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2.    Serabut visero-motorik (parasimpatis)
Serabut visero-motorik yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3.    Serabut visero-sensorik
Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
4.    Serabut somato-sensorik
Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus fasialis (Nervus VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (Nervus V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.
(Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan)

B.    DEFINISI
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
(Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan).
Kelumpuhan nervus vasialis (N.Vll) adalah kelumpuhan otot wajah, sehingga wajah pasien tampak tidak simetris  pada waktu berbicara dan berekspresi. Hanya merupakan gejala sehingga  harus dicari penyebab dan derajat kelumpuhannya  untuk mementukan terapi  dan prognosis.
(Kapita Selekta Kedokteran. 2000. Jakarta. Hal 92-93)


Gambar 2.1 saraf-saraf yang berhubungan
C.    ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah virus herpes simpleks-tipe 1. Dan penyebab lain bell palsy antara lain:
1.    Infeksi virus lain.
2.    Neoplasma: setelah pengangkatan tumor otak (neuroma akustik) atau tumor lain.
3.    Trauma: fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah, dan menyelam.
4.    Neurologis: sindrom Guillain-Barre.
5.    Metabolik: kehamilan, diabetes melitus, hipertiroidisme, dan hipertensi.
6.    Toksik: alkohol, talidomid, tetanus, dan karbonmonoksida.
(Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta)

D.    PATOFISIOLOGI
Bell’s plasy dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralis tekanan. Saraf yang radang dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya  tersumbat pada titik yang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling baik sangat sempit. Ada penyimpangan wajah berupa palisis otot wajah; peningkatan lakrimalis (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang  telinga, dan pada klien yang mengalami kerusakan bicara, dan kelamahan otot wajah  atau otot wajah pada sisi yang terkena.


























E.    PARTHWAY




M. Temporal

Inflamasi saraf VII

Edema, saraf terjepit

Nutrien dan listrik (abnormal)

Bell palsy











-    Hambatan komunikasi verbal
-    Gangguan citra tubuh
-    Gangguan konsep diri
-    Gangguan menelan





F.    MANIFESTASI KLINIS
1.    Gejala Pada Sisi Wajah Ipsilateral
•    Kelemahan otot wajah ipsilateral
•    Kerutan dahi menghilang ipsilateral
•    Tampak seperti orang letih
•    Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata
•    Hidung terasa kaku
•    Sulit berbicara
•    Sulit makan dan minum
•    Sensitif terhadap suara ( hiperakusis )
•    Saliva yang berlebihan atau berkurang
•    Pembengkakan wajah
•    Berkurang atau hilangny rasa kecap
•    Nyeri didalam atau disekitar telinga
•    Air liur sering keluar
2.    Gejala Pada Mata  Ipsilateral
•    Sulit atau tidak mampu menutup mata
•    Air mata berkurang
•    Kelopak mata bawah jatuh
•    Sensitif terhadap cahaya
3.    Residual
•    Mata terlihat lebih kecil
•    Kedipan mata jarang atau tidak sempurna
•    Senyum yang asimetris
•    Spasme hemifasial pascaparalitik
•    Otot hipertonik
•    Sinkenesia
•    Berkeringat saat makan atau saat beraktivitas
•    Otot menjadi lebih flaksid jika lelah
•    Otot menjadi kaku saat letih atau kedinginan
Secara klinis, saraf lain kadang-kadang ikut teriritasi, misalnya, rasa nyeri atau baal pada wajah yang bias disebabkan oleh iritasi N. V. (Dewanto, George. 2009)
G.    DIAGNOSIS
    Pada infeksi, terlihat pendataran dahi dan lipatan nasolabial pada sisi yang terkena. Ketika pasien diminta menaikan alis mata, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar . ketika pasien diminta tersenyum, wajah menjadi menyimpang dan terdapat lateralisasi kesisi yang berlawanan dari yang lumpuh. Pasien tidak dapat menutup matanya secara sempurna pada posisi yang lumpuh. Pada saat berusa menutup mata, bola mata seolah bergulir keatas pada sisi yang lumpuh. Hal ini disebut fenomena Bell dan merupakan hal yang normal pada saat menutup mata.
    Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan harus dilakukan pada pasien dengan kelumpuhan wajah. Pada telinga luar harus dilihat adanya vesikel, infeksi atau terauma, penurunan sensisbilitas rasa nyeri didaerah auricular posterior. Pasien dengan paralisis otot stapedius mengalami hiverakusis. (Dewanto, George. 2009)

H.    PENATALAKSANAAN MEDIS
1.    Terapi Non-farmakologis
a.    Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan peng-gunaan air mata buatan  (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).
b.    Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar.  Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.
c.    Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
1)    Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh.  Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
2)    kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedbackvisual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
3)    kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi.
4)    strategi meditasi-relaksasi. Pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar vi-sual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
2.    Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam patogenesis  Bell’ s palsy.
a.    Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kg/hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu)  berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
b.    Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg/hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg/hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

(Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI)
I.    KOMPLIKASI
Sekitar 5% pasien setelah menderita  Bell’ s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’ s palsy, adalah
1.    Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
2.    Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal).
3.    Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menye-babkan:
a.    Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata.
b.    Crocodile tear phenomenon,  yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan.
Clonic facial spasm (hemifacial spasm),  yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock like)pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan). (Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI)


J.    PROGNOSIS   
1.    Perjalanan alamiah  Bell’ s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan  Bell’ s palsy sembuh Total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu.
2.    Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah
-    Palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabe-tes, adanya nyeri hebat post aurikular, gangguan penge-capan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’ s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah
-    Paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan to-tal), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.
(Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI)
K.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bell’ s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
1.    Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos
Dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
2.    Pemeriksaan MRI
Dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
3.    Pemeriksaan neurofisiologi
Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970- sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.
4.    Pemeriksaan elektromiografi (EMG)
Mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektro-neurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value(PPV) 100% dan  negative-predictive-value(NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo  Compound Motor Action Potential(CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis.
5.    Pemeriksaan blink reflexdidapatkan
Pemanjangan gelombang R1 ipsilat-eral. Pemeriksaan  blink reflex  ini  sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah.  Abnor-malitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.






















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT BELL’S PALSY
A.    PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan klien dengan Bell’s Palsy  meliputi anamnesis riwayat penyakit,  pemeriksaan fisik,  pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
1.    Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan  kesehatan adalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.

2.    Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien.  Disini harus di Tanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau tambah buruk. Pada pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah seisi.  Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.  Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutup bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan.  Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda Bell.

3.    Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi presdisposisi keluhan sekarang  meliputi pernahkan klien mengalami penyakit iskemia vaskuler,  otitis media, tumor intrakranal, trauma kapitis, penyakit virus (herpes simpleks, herves zoster ), penyakit autoimun, atau kombinasi semua factor ini.  Pengkajian pemakaian obat-obatan  yang sering di gunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data besar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

4.    Pengkajian psiko-sosio –spiritual
Pengkajian spikologis  klien  Bell’s palsy   meliputi beberapa penilaian  yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas  mengenai status emosi, kognitif, dan prilaku klien.  Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting  untuk menilai respon emosi tehadap kelumpuhan otot  wajah seisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat.  Apakah ada dampak yang timbul pada klien,  yang timbul ketakutan atau kecacatan,  rasa cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar digunakan  klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan selama ini yang sudah di ketahui  dan perubahan  perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani perawatan rawat inap  maka apakah keadaan ini member dampak  pada status  ekonomi  klien,  karena biaya perawatan dan pengobatan  memerlukann dana yang tidak sedikit.  Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak ganguan neurologis  yang akan terjadi pada gaya hidup individu.  Perseektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan  yang diakibatkan oleh defesit neurologi dalam hubungannya dengan peran  social klien  dan rencana pelayanan  yang akan mendukung  adaptasi pada gangguan  neurologis  didalam sistem dukungan individu.

5.    Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis  yang mengarah  pada keluhan-keluhan klien,  pemeriksaan  fisik sangat berguna untuk  mendukung  data  dari  pengkajian  anamnesis.  Pemeriksaan fisik  sebaiknya  dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik   pada  pemeriksaan B3 (Brain) yang  terarah dan dihubungkan dengan  keluhan-keluhan dari klien.  Pada klien Ball’s palsy biasanya di dapatkan tanda-tanda  vital dalam batas normal.
a.    B1(breathing)
Bila tidak ada penyakit lain  yang menyertai pemeriksaan inspeksi  didapatkan klien  tidak batuk,  tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas, dan frekuensi  pernapasan dalam batas normal.  Palpasi biasanya traktil premitus  seimbang kanan dan kiri.  perkusi didapatkan resonan  pada seluruh  lapangan paru.  Askultasi tidak terdengar  bunyi napas tambahan.
b.    B2(blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai   pemeriksaan  nadi  dengan frekuensi  dan irama yang normal.  TD  dalam batas normal dan  tidak terdengar bunyi  jantung tambahan.
c.    B3(brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan  lebih lengkap dibandingkan pengkaian  pada sistem lainnya.
1)    Tingkat  Kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien  compos mentis.
Fungsi Serebri
Status mental : observasi  penampilan klien  dan tingkah lakunya,  nilai gaya  bicara klien,  observasi  ekspresi wajah,  dan  aktivitas motorik yang pada klien  Bell’s palsy  biasanya status mental klien mengenai perubahan.

2)    Pemeriksaan saraf kranial
•    Saraf  I.  Biasanya  pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan  dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
•    Saraf II.  Tes ketajaman  penglihatan pada kondisi normal.
•    Saraf III, IV,  dan VI.  Penurunan gerakan kelopak mata  pada sisi yang sakit (lagoftalmos ).
•    Saraf V.  Kelumpuhan  seluruh otot wajah seisi, lipatan nasolabial  pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
•    Saraf VII.  Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali  adema nervus  fasialis di tingkat faranem stilomastedeus meluas  sampai bagian nervus fasialis,  di mana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
•    Saraf  VIII.  Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
•    Saraf IX Dan X.  Paralisis  Otot orofaing, kesukaran  berbicara, mengunya, dan menelan.  Kemampuan  menelan kurang baik,  sehingga  mengganggu pemenuhan  nutrisi via oral.
•    Saraf XI.  Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus  dan trapezius.  Kemampuan mobilisasi leher baik.
•    Saraf XII.  Lidah simestris,  tidak ada deviasi  pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan mengalami  kelumpuhan dan pengecapan  pada 2/3  lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
3)    Sistem Motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis  lain, kekuatan otot normal,  control keseimbangan  dan koordinasi  pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.
4)    Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex dalam,  pengetukan pada tendon,  ligamentum  atau periosteum derajat reflex pada respons  normal.
5)    Gerakan Involunter
Tidak  ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia.  Pada beberapa keadaan sering di temukan Tic Fasialis.
6)    Sistem Sensorik
Kemampuan penilaian  sensorik raba,  nyeri, dan suhu  tidak ada kalainan.
d.    B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan  biasanya  didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal  ini berhubungan dengan  penurunan perfusi  dan  penurunan curah jantung ke ginjal.
e.    B5 (bowel)
Mual sampai muntah  dihubungkan dengan  peningkatan produksi  asam lambung. Pemenuhan  nutrisi  pada klien Bell’s palsy  menurun karena anoreksia  dan  kelemahan  otot –otot mengunyah  serta gangguan proses  menelan   menyebabkan  pemenuhan via oral menjadi berkurang.
f.    B6 (bone )
Penurunan kekuatan otot  dan  penurunan tingkat kesadaran  menurunkan  mobilitas klien  secara umum.  Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.





B.    Diagnosis Keperawatan
1.    Gangguan konsep diri (citra diri )  yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
2.    Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.
3.    Kurangnya pengetahuan kesehatan diri sendiri yang berhubungan dengan informanasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

C.    Rencana intervensi    
Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
Data penunjang :
Tanda subjektif : merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi. 
Tanda objektif   : Dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang  sehat saja. 

Tujuan           : Konsep diri klien meningkat
Kriteria hasil : klien mampu menggunakan koping yang positif. 

Intervensi    Rasionalisasi
Kaji dan jelaskan  kepada klien tentang keadaan paralisis wajahnya.     Intervensi awal bias mencegah distress psiklogis pada klien. 

Bantu  klien menggunakan mekanisme koping ysng positif.
    Mekanisme koping yng positif dapat membantu  klien lebih percaya diri,  lebih kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan  dan mencegah terjadinya kecemasan tambahan.

Orientasikan klien  terhadap prosedur  rutin dan aktifitas yang diharapkan. 
    Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
Libatkan sistem pendukung dalam  perawatan klien.     Kehadiran sistem pendukung meningkatkan  citra diri klien. 


Cemas  yang  berhubungan  dengan  proknosis penyakit dan perubahan  kesehatan
Tujuan           : Kecemasan   hilang atau berkurang.
Kriteria hasil :  mengenal perasaannya,  dapat mengidentifikasai penyebab atau faktor yang  mempengaruhi,  dan menyatakan ansietas berkurang  / hilang.

Intervensi    Rasionalisasi
Kaji tanda verbal dan nonverbal  kecemasan, damping klien  dan,  lakukan tindakan bila menunjukan prilaku merusak.     Reaksi  verbal /nonverbal dapat  menunjukan rasa agitasi,  marah, dan gelisah. 
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan.  Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.      Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
Tingkat control sensasi klie.     Kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan ) dengan   cara memberikan informasi tentang keadaan klien,  menekankan pada  penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan  diri ),  yang positif membantu   latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respon balik yang positif. 
Beri kesempatan  kepada klien  untuk mengungkapkan kecemasannya.      Dapat mengalihkan ketegangan  terhadap kekhawatiran  yang tidak diekspresikan.
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat.      Memberi waktu untuk mengekspresikan  perasaan,  menghilangkan cemas,  dan perilaku adaptasi.  Adanya keluarga dan teman-teman  yang di pilih klien melayani  aktivitas  dan pengalihan (misalnya membaca akan  menurunkan perasaan terisolasi.  


Kurangnya pengetahuan  perawatan diri  sendiri yang berhubungan dengan informasi  yang tidak ade kuat mengenai  proses penyakit dan pengobatan.
Tujuan           : Dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihat kan kemampuan   pemahaman yang ade kuat tentang penyakit  dan  pengobatan.
Kriteria hasil : Klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana terhadap  apa yang telah didiskusikan.

Intervensi    Rasionalisasi
Kaji kemampuan belajar,  tingkat kecemasan,  partisipasi,  media yang sesuai untuk belajar.      Indikasi progresif atau  reaktivasi  penyakit atau efek samping pengobatan,  serta untuk evaluasi lebih lanjut.
Identifikasi tanda dan gejala  yang perlu dilaporkan keperawat.       Meningkatkan kesadaran kebutuhan  tentang perawatan diri untuk meminimalkan kelemahan.
Jelaskan instruksi dan informasi   misalnya penjadwalan pengobatan.     Meningkatkan kerja sama/ partisipasi terapeutik  dan mencegah putus obat.
Kaji ulang resiko efek samping  pengobatan.     Dapat mengurangi rasa kurang nyaman  dari pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.
Dorong klien mengekspresikan ketidaktahuan/ kecemasan dan beri informasi yang dibutuhkan.     Member kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah  dam mengurangi kecemasan.






BAB IV
KESIMPULAN
A.    KESIMPULAN
Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat menyebabkan gangguan pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior lidah.Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi nervus fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi





















DAFTAR PUSTAKA

o    Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI
o    Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta
o    Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
o    Ginsberg, lionel. 2008. Lecture Notes : Neurologi. Erlangga : Jakarta.
o    Lumbantobing. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta: Universitas Indonesia.
o    Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
o    Williams, Lippincot & Wilkins. 2011. Nursing : Memahami Berbagai Macam Penyakit. Indeks: Jakarta
o    Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
o                            Kapita Selekta  Kedokteran. 2000. Jakarta.

ASKEP STROKE HEMORAGIK & NON-HEMORAGIK

BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
Stroke merupakan yaitu penyakit kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya supalai darah kebagian otak. Stroke disebakan oleh trombosis, embolisme serebral, iskemia, dan hemoragi serebral. Penderita stroke saat ini menjadi penghuni terbanyak di bangsal atau ruangan pada hampir semua pelayanan rawat inap penderita penyakit syaraf. Karena, selain menimbulkan beban ekonomi bagi penderita dan keluarganya, stroke juga menjadi beban bagi pemerintah dan perusahaan asuransi kesehatan.
Angka kejadian stroke dunia diperkirakan 200 per 100.000 penduduk, dalam setahun. Bila ditinjau dari segi usia terjadi perubahan dimana stroke bukan hanya menyerang usia tua tapi juga menyerang usia muda yang masih produktif. Mengingat kecacatan yang ditimbulkan stroke permanen, sangatlah penting bagi usia muda untuk mengetahui informasi mengenai penyakit stroke, sehingga mereka dapat melaksanakan pola gaya hidup sehat agar terhindar dari penyakit stroke.
Di indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat. Saat ini stroke menempati urutan ketiga sebagai penyakit mematikan setelah penyakit jantung dan kanker, sedangkan di indonesia stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di rumah sakit.
Berbagai fakta diatas menujukan, stroke masih merupakan masalah utama di bidang neurologi maupun kesehatan pada umumnya. Untuk mengatasi masalah krusial ini diperlukan strategi penangulangan stroke yang mencakup aspek preventif, terapi rehabilitasi, dan promotif.


Keberadaan unit stroke di rumah sakit tak lagi sekadar pelengkap, tetapi sudah menjadi keharusan, terlebih bila melihatangka penderita stroke yang terus meningkat dari tahun ke tahun di indonesia. Karena penanganan stroke yang cepat, tepat dan akurat akan meminimalkan kecacatan yang ditimbulkan. Untuk itulah penulis menyusun makalah mengenai stroke yang menunjukan masih menjadi salah satu pemicu kematian tertinggi di Indonesia.

B.TUJUAN
1.    Umum
Agar mahasiswa mampu memahami konsep penyakit stroke serta asuhan keperawatan pasien stroke
2.    Khusus
a.    Agar mahasiswa mampu konsep penyakit stroke
b.    Agar mahasiswa mampu asuhan keperawatan pada pasien stroke
c.    Agar mahasiswa mampu asuhan keperawatan kasus

C.METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini kami mengunakan metode deskriptif, yang diperoleh dari literatur dari berbagai media, baik buku maupun internet yang di sajikan dalam bentuk makalah.

D.SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika dalam penulisan makalah ini adalah:
BAB  I

BAB II

BAB III    :

:

:    Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan, Metode Penulisan, dan yang terakhir Sistematika Penulisan.
Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep penyakit stroke, asuhan keperawatan pada pasien stroke, dan asuhan keperawatan kasus
Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran



BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    Konsep Penyakit Stroke
1.    Pengertian Stroke
Menurut Brunner & Sudarth stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah kebagian otak.
Menurut Mansjoer A stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif, cepat berupa defisit neurologis vokal atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian. Semata-mata disebabkan oleh peredaran darah otak non traumatik.
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular.
Menurut Arif Mutaqin stroke adalah penyakit (kelainan) fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan terjadinya gangguan peredaran darah otak yang timbul mendadak yang disebabkan terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja.
Menurut Marilyn E. Doenges stroke/penyakit serebrovaskuler menunjukan adanya beberapa kelainan otak baik secara fungsional maupun struktural yang disebabkan oleh keadaan patologis dari pembuluh darah serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah otak.
2.    Etiologi
Stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari empat kejadian (Brunner dan Suddarth, 2002. Hal 2130-2144)
a.    Trombosis
Trombosis ialah proses pembentukan bekuan darah atau koagulan dalam sistem vascular (yaitu,pembuluh darah atau jantung) selama manusia masih hidup, serta bekuan darah didalam pembuluh darah otak atau leher. Koagulan darah dinamakan trombus. Akumulasi darah yang membeku diluar sistem vaskular, tidak disebut sebagai trombus. Trombosis ini menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema disekitarnya.
b.    Embolisme serebral
Embolisme serebral adalah bekuan darah dan material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh lain. Merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari trombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebri.
c.    Iskemia serebri
Iskemia  adalah penurunan aliran darah ke area otak. Otak normalnya menerima sekitar 60-80 ml darah per 100 g jaringan otak per menit. Jika alirah darah aliran darah serebri 20 ml/menit timbul gejala iskemia dan infark. Yang disebabkan oleh banyak faktor yaitu hemoragi, emboli, trombosis dan penyakit lain.
d.    Hemoragi serebral
Hemoragi serebral adalah pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan ke dalam jaringan otak atau ruangan sekitar otak. Pendarahan intraserebral dan intrakranial meliputi pendarahan didalam ruang subarakhnoid atau didalam jaringan otak sendiri. Pendarahan ini dapat terjadi karena arterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak.








3.    Klasifikasi
Klasifikasi stroke di bedakan menurut patologi dari serangan stroke meliputi. Dibawah ini skema pembagian stroke menurut patologi serangan stroke

Skema 2.1 klasifikasi stroke 
a.    Stroke hemoragik
Merupakan pendarahan serebri dan mungkin pendarahan subarakhnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istrahat. Kesadaran klien umumnya menurun (Arif Muttaqin,  2008).
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis vocal yang akut dan disebabkan oleh pendarahan primer subtansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri , vena dan kapiler. Pendarahan otak dibagi dua yaitu (Arif Muttaqin,  2008):
1)    Pendarahan intraserebri (PIS)
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk kedalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak dan menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena heniasi otak. Pendarahan intraserebri yang disebabkan hipertensi sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons, dan serebellum.
2)    pendarahan subarakhnoid (PSA)
pendarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma. Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak. Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang subarakhnoid menyebabkan TIK meningkat mendadak, merenggangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh darah serebri yang berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia, dan lainnya).
Pecahnya arteri dan keluarnya darah keruang subarakhnoid mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK yang mendadak, merenggangnya struktur peka nyeri, sehingga timbul kepala nyeri hebat. Sering juga dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda merangsang selaput otak lainnya. Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan pendarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebri. Vasospasme ini dapat mengakibatkan arteri di ruang subbarakhnoid. Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lainnya).
Otak dapat berfungsi jika kebutuhan oksigen dan glukosa otak dapat terpenuhi. energi yang di hasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen sehingga jika ada kerusakan atau kekurangan  aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.. Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi oksigen melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
Dibawah ini tabel perbedaan perdarahan intraserebri dengan perdarahan subarakhnoid
Gejala    PIS    PSA
Timbulnya    Dalam 1 jam    1 – 2 menit
Nyeri kepala    Hebat    Sangat hebat
Kesadaran    Menurun    Menurun sementara
Kejang    Umum    Sering fokal
Tanda rangsangan meningeal    +/-    +++
Hemiparese    ++    +/-
Gangguan saraf otak    +    +++
Tabel 2.1 perbedaan perdarahan intraserebri dengan perdarahan subarakhnoid
b.    Stroke nonhemorogik
Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebri, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur, atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbvul edema sekunder. Kesadaran umum nya baik.
Dibawah ini tabel perbedaan stroke hemoragik dan non hemoragik
Gejala (anamnesa)    Stroke nonhemoragik    Stroke hemoragik
Awitan (onset)    Sub akut kurang    Sangat akut/ mendadak
Waktu (saat terjadi awitan)    Mendadak    Saat aktifitas
Peringatan    Bangun pagi/ istirahat    -
Nyeri kepala    +50% TIA    +++
Kejang    +/-    +
Muntah    -    +
Kesadaran menurun    -,Kadang sedikit    +++
Koma/kesadaran menurun    +/-    +++
Kaku kuduk    -    ++
Tanda kerning    -    +
Edema pupil    -    +
Perrdarahan retina    -    +
Bradikardia    Hari ke-4    Sejak awal
Penyakit lain    Tanda adanya aterosklerosis diretina, koroner, perifer. Emboli pada kelainan katu, fibrilasi, bising karosis    Hampir selalu hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung hemolisis (HHD)
Pemeriksaan darah pada LP    -    +
Rontgen    +    Kemungkinan pengeseran glandula pineal
Angiografi    Oklusi, stenosis    Aneurisma ,AVM, massa intrahemisfer/ vasospasme
CT scan    Densitas berkurang (lesi hipodensis)    Massa intrakranial densitas bertam bah (lesi hipertensi)
Oftalmoskop    Penomena silang silver wire art    Perdarahan retina atau korpus vitreum
Lumbal fungsi
•    tekanan
•    warna
•    eritrosit   
Normal
Jernih
<250/mm3   
Meningkat
Merah
>1000/mm3
Arteriografi    Oklusi    Ada pengeseran
EEG    Di tengah    Bergeser dari bagian tengah
Tabel 2.2 perbedaan antara stroke nonhemoragik dengan stroke hemoragik
Klasifikasi stroke di bedakan menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya :
a.    TIA (Transient Ischemic Attack). Gangguan neurologis lokal yang terjadi selama beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang cdengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
b.    Stroke involusi. Stroke yang terjadi masih terus berkembang, gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari.
c.    Stroke komplet. Gangguan neurologis yang timbul sudah menetap atau permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke komplet dapat di awali dengan serangan  TIA berulang.


4.    Manifestasi klinis
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, secara umum gejala tergantung pada besar dan letak lesi di otak yang menyebabkan gejala dan tanda organ yang dipersarafi oleh bagian tersebut, dan ukuran area yang perfusinya tidak adekuat. Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Jenis patologi (hemoragik atau non hemoragik) secara umum tidak menyebabkan perbedaan dari tampilan gejala, kecuali bahwa pada jenis hemoragi seringkali ditandai dengan nyeri kepala hebat, terutama terjadi saat bekerja. Beberapa perbedaan yang terjadi pada strok hemisfer kiri dan kanan dapat dilihat dari tanda-tanda yang didapat dan dengan pemeriksaan neurologis sederhana (Aru W Sudoyo,2009. hal 892-897). Perbedaan tersebut dapat dilihat tabel dibawah ini.
Stroke hemisfer kiri    Stroke hemisfer kanan
Paralisis tubuh kanan
Defek lapang pandang kanan
Afasia (ekpresif, reseptif atau global)
Perubahan kemampuan intelektual
Perilaku lambat dan kewaspadaan    Paralisis tubuh kiri
Defek lapang pandang kiri
Defisit persepsi khusus
Peningkatan distraktibiillitas
Perilaku impulsif dan penilaian buruk
Kurang kesadaraan terhadap defisit
Tabel 2.3 perbedaan stroke hemisfer kiri dan kanan (Aru W Sudoyo,2009. hal 892-897)
Defisit neurologis yang sering terjadi antara lain (Brunner dan Suddarth, 2002. Hal 2130-2144):
a.    Kehilangan motorik
Stroke penyakit kehilangan motorik karena gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukan kerusakaan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motor paling umum adalah hemiparesis adalah kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang lain (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan) dan hemiplegia adalah paralisis wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan). Serta disfungsi motor yang lain adalah ataksia (berjalan tidak mantap, dan tegak/tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar kaki pada sisi yang sama), disartria (kesulitan dalam membentuk kata), dan disfagia (kesulitan menelan)
b.    Kehilangan komunikasi
Fungsi otak antara lain yang dipengaruhi stroke bahasa dan komunikasi. Disfungsi bahasa dan komunikasi antara lain: disartria (kesulitan dalam membentuk kata, yang ditujukan dengan bicara yang sulit dimengerti disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara), disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara yang terutama ekpresif atau represif.
c.    Defisit lapang pandang
Defisit lapang pandang karena gangguan jarak sensori primer antara mata dan korteks visual. Defisit lapang pandang pada stroke antara lain homonimus hemianopsia/kehilangan setengah lapang penglihatan (tidak menyadari orang atau objek ditempat kehilangan penglihatan, mengabaikan salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai jarak), kehilangan penglihatan perifer (kesulitan melihat pada malam hari,tidak menyadari objek) dan diplopia (penglihatan ganda)
d.    Kehilangan sensori
Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propiosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterprestasikan stimuli visual, taktil dan auditorius.
e.    Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
Bila kerusakan terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori atau fungsi intelektual, fungsi ini kemungkinan juga terjadi kerusakan. Disfungsi ini ditujukan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi. Depresi umum terjadi karena respons alamiah pasien pasien terhadap penyakit.

f.    Disfungsi kandung kemih
Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urin sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan mengunakan urinal karena kerusakan motorik. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius ekternal hilang atau berkurang.
5.    Patofisologi
Infark serebri adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang di suplai oleh pembuluh darah yang tersumbat (Arif Muttaqin,  2008).
Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering kali merupakan faktor penting untuk otak, trombus dapat berasal dari flak arterosklerosis, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah akan lambat atau terjadi turgulensi. Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah dan terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak pada area yang di suplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan, dan edema dan kongesti di sekitar area (Arif Muttaqin,  2008).
Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukan perbaikan (Arif Muttaqin,  2008).
Karena trombosit biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebri oleh embelus menyebabkan edema dan nekrosis di ikuti trombosis. Jika terjadi infeksi sepsis akan meluas pada dinding pembuluh darah, maka akan terjadi abses atau ensefalisis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini menyebabkan pendarahan serebri, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerosis dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebri yang sangat luas akan menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit serebropaskular, karena perdarahan yang luas terjadi distruksi masa otak peningkatan tekanan intrakranial yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falks serebri atau foramen magnum.
Kematian disebabkan oleh kompresi batang otak, hemesper otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepergitiga kasus perdarahan otak di nekleus kaudatus, talamus, dan pons.
Jika sirkulasi serebri terhambat, dapat berkembang anoksia serebri. Perubahan disebabkan oleh anoksia serebri dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebri dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan menyebabkan menurunnya tekanan  perfusi otak serta terganggunnya drainase otak. Agar lebih memahami patofisiologi stroke dibawah ini perhatikan skema dibawah ini

Skema 2.2 patofisiologi stroke (Arif Muttaqin,  2008)


6.    Komplikasi
Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, penurunan aliran darah serebral, dan luasnya area cedera antara lain (Brunner dan Suddarth, 2002. Hal 2130-2144):
a.    Hipoksia serebral  diminimalkan dengan memberi oksigenisasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenisasi jaringan.
b.    Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
c.    Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan menghentikan trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.
7.    Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan dalam membantu menegakkan diagnosis klien stroke meliputi (Arif Muttaqin,  2008):
a.    Angiografi serebri
Membantu menentukkan penyebab dari stroke secara spesifik seperti pendarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari perdarahan seperi aneurisma atau malformasi vaskuler.



b.    Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal menunjukkan adanya hemoragik pada subarakhonid atau perdarahan pada intrakanial. Peningkatan jumlah protein  menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan  yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
c.    CT Scan
Memperhatikan secara spesifk letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infrak atau iskemia, serta posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan baisanya didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ke ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
d.    Magnetic Imaging Resnance (MRI)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infrak akibat dari hemografik.
e.    USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis).
f.    EEG
Pemeriksaan ini bertujuan melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya implus listrik dalam jaringan otak.
8.    Penatalaksanaan
a.    Penatalaksanaan medis
Tindakan medis terhadap pasien stroke meliputi diuretik untuk menurunkan edema serebral, yang mencapai tingkat maksimum 3-5 hari setelah infark serebral. Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya trombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardiovaskuler. Medikasi antitrombisit dapat diresepkan karena trombosit memainkan peran sangat penting dalam pembentukan trombus dan embolisasi (Aru W Sudoyo,2009. hal 892-897).
b.    Penatalaksanaan pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebri dengan (Arif Muttaqin,  2008):
1)    Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan membuka arteri karotis di leher
2)    Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling dirasakan oleh klien TIA
3)    Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
4)    Ligasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.
c.    Penatalaksanaan stroke di unit gawat darurat
Pasien yang koma dalam pada saat masuk rumah sakit dipertimbangkan mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya, pasien sadar penuh menghadapi hasil yang lebih dapat diharapkan. Fase akut biasanya berakhir 48-72 jam. Dengan mempertahankan jalan napas dan ventilasi adekuat adalah prioritas dalam fase akut ini. Selain itu tindakan yang dapat dilakukan untuk menyatabilkan keadaan pasien dengan konsep gawat darurat yang lain yaitu dengan konsep ABC yaitu (Aru W Sudoyo,2009. hal 892-897):
1)    Airway artinya mengusahakan agar jalan napas bebas dari segala hambatan, baik akibat hambatan yang terjadi akibat benda asing maupun sebagai akibat strokenya sendiri. Contoh tindakannya adalah pasien dipantau untuk adanya komplikasi pulmonal (aspirasi, atelektasis, pneumonia), yang mungkin berkaitan dengan kehilangan refleks jalan napas, imobilitas, atau hipoventilasi dan Jangan biarkan makanan atau minuman masuk lewat hidung


2)    Breathing atau fungsi bernapas yang mungkin terjadi akibat gangguan di pusat napas (akibat stroke) atau oleh karena komplikasi infeksi di saluran napas. Contoh tindakannya adalah intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik perlu untuk pasien dengan stroke masif, karena henti pernapasan biasanya faktor yang mengancam kehidupan pada situasi ini dan  berikan oksigen 2-4 L/menit melalui kanul nasal
3)    Cardiovaskular function (fungsi kardiovaskular),  yaitu fungsi jantung dan pembuluh darah. Seringkali terdapat gangguan irama, adanya trombus, atau gangguan tekanan darah yang harus ditangani secara cepat. Gangguan jantung seringkali merupakan penyebab stroke, akan tetapi juga bisa merupakan komplikasi dari stroke tersebut. Contoh tindakannya adalah pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang dan jantung diperiksa untuk abnormalitas dalam ukuran dan irama serta tanda gagal jantung kongestif.
Tindakan lain yang dapat dilakukan antara lain setelah keadaan pasien stabil yaitu (Arif Mansjoer, 2000. hal 17-26):
1)    Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal 0,9% dengan kecepatan 20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis seperti dekstrosa 5 % dalam air dan salin 0,45% karena dapat memperhebat edema otak
2)    Buat rekamanan EKG dan lakukan foto rontgen otak
3)    Tegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
4)    CT scan atau MRI bila alat tersedia.






B.    Asuhan Keperawatan Teoritis
1.    Pengkajian
a.    Pengkajian Primer
-    Airway
Airway artinya mengusahakan agar jalan napas bebas dari segala hambatan, baik akibat hambatan yang terjadi akibat benda asing maupun sebagai akibat strokenya sendiri.
-    Breathing
Breathing atau fungsi bernapas yang mungkin terjadi akibat gangguan di pusat napas (akibat stroke) atau oleh karena komplikasi infeksi di saluran napas.
-    Circulation
Cardiovaskular function (fungsi kardiovaskular),  yaitu fungsi jantung dan pembuluh darah. Seringkali terdapat gangguan irama, adanya trombus, atau gangguan tekanan darah yang harus ditangani secara cepat. Gangguan jantung seringkali merupakan penyebab stroke, akan tetapi juga bisa merupakan komplikasi dari stroke tersebut
b.    Pengkajian Sekunder
1)    Wawancara (Brunner dan Suddarth, 2002. Hal 2130-2144)
a)    Identitas klien: Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa medis.
b)    Keluhan utama: Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi.
c)    Riwayat penyakit sekarang: Identifikasi faktor penyebab, Kaji saat mulai timbul; apakah saat tidur/ istirahat atau pada saat aktivitas, Bagaimana tanda dan gejala berkembang; tiba-tiba kemungkinan stroke karena emboli dan pendarahan, tetapi bila onsetnya berkembang secara bertahap kemungkinan stoke trombosis, Bagaimana gejalanya; bila langsung memburuk setelah onset yang pertama kemungkinan karena pendarahan, tetapi bila mulai membaik setelah onset pertama karena emboli, bila tanda dan gejala hilang kurang dari 24 jam kemungkinan TIA, Observasi selama proses interview/ wawancara meliputi; level kesadaran, itelektual dan memory, kesulitan bicara dan mendengar, Adanya kesulitan dalam sensorik, motorik, dan visual.
d)    Riwayat penyakit dahulu: Ada atau tidaknya riwayat trauma kepala, hipertensi, cardiac desease, obesitas, DM, anemia, sakit kepala, gaya hidup kurang olahraga, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator dan obat-obat adiktif
e)    Riwayat penyakit keluarga: Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes militus.
f)    Riwayat psikososial: Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga.
g)    Pola-pola fungsi kesehatan:
-    Pola kebiasaan. Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol.
-    Pola nutrisi dan metabolisme , adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut.
-    Pola eliminasi: Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
-    Pola aktivitas dan latihan, adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah,
-    Pola tidur dan istirahat biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang otot/nyeri otot,
-    Pola hubungan dan peran: Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.
-    Pola persepsi dan konsep diri: Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak kooperatif.
-    Pola sensori dan kognitif: Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/kekaburan pandangan, perabaan/ sentuhan menurun pada muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi penurunan memori dan proses berpikir.
-    Pola reproduksi seksual: Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti hipertensi, antagonis histamin.
-    Pola penanggulangan stress: Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi.
-    Pola tata nilai dan kepercayaan: Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
2)    Pemeriksaan fisik (Brunner dan Suddarth, 2002. Hal 2130-2144)
a)    Keadaan umum:  mengelami penurunan kesadaran, Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/afasia: tanda-tanda vital: TD meningkat, nadi bervariasi.
b)    Pemeriksaan integument:
-    Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu.
-    Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis.
-    Rambut : umumnya tidak ada kelainan.
c)    Pemeriksaan leher dan kepala:
-    Kepala: bentuk normocephalik
-    Wajah: umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi.
-    Leher: kaku kuduk jarang terjadi.
d)    Pemeriksaan dada: Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan.
e)    Pemeriksaan abdomen: Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat kembung.
f)    Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus: Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine.
g)    Pemeriksaan ekstremitas: Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
h)    Pemeriksaan neurologi:
-    Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central.
-    Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
-    Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi.
-    Pemeriksaan refleks: Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahuli dengan refleks patologis.
2.    Diagnosa (Marlyn E Doengoes, 2000)
a.    Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
b.    Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intraserebri, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
c.    Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia, kelemahan neuromuskular pada ekstermitas.
d.    Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol/koordinasi otot.
e.    Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara  pada hemisfer, otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum.
3.    Perencanaan dan Implementasi (Marlyn E Doengoes, 2000)
a.    Diagnosa 1
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil: Klien tidak gelisah, Klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual dan muntah, GCS: 4,5,6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi    Rasionalisasi
Kaji faktor penyebab dari situasi/keaadaan individu/ penyebab koma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.    Deteksi dini untuk memprioritasikan intervensi, mengkaji status neurologis/ tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pemebedahan.
Memonitor tanda-tanda  vital tiap 4 jam.    Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebri terpelihara dengan baik merupakan tanda penurunan difusi lokal vaskularisasi darah serebri. Peningkatan tekanan darah, bradikardi, distirmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.


Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.    Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatan TIK oleh efek rangsangan kumulatif.
Observasi tingkat kesadaran dengan GCS    Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.
Kolaborasi:
Pemberian O2 sesuai indikasi    Mengurangi hipoksemia, di mana dapat meningkatkan vasodalitasi serebri dan volume darah dan menaikkan TIK
b.    Diagnosa 2
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria hasil: klien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang. GCS 4,5,6, pupil isokor, refleks cahaya (+), tanda-tanda vital normal (nadi: 60-100 x/menit, suhu: 36-36,7oC, RR:16-20 x/menit).
Intervensi    Rasionalisasi
Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.    Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
Monitor tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi pernafasan, serta hati-hati pada hipertensi sistolik.    Pada keadaan normal, otoregulasi mempertahankan keadaan tekanan  darah sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan otoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler serebri yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan  infeksi.
Bantu klien untuk membatasi muntah, batuk. Anjurkan klien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.    Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intrabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava.
Kolaborasi:
Berikan cairan per infus dengan perhatian ketat.    Meminimalkan fluktuasi pada beban vaskular dan tekanan intrakranial, retriksi cairan, dan cairan dapat menurunkan edema serebri.
Monitor AGD bila diperlukan pemeberian oksigen.    Adanya kemungkinan asidosis disertai dengan pelepasan oksigen pada tingkat sel dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri.
c.    Diagnosa 3
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
Kreteria hasil: klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi kontarktur sendi, meningkatnya kekuatan otot, klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi    Rasionalisasi
Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan.    Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
Ubah posisi klien setiap 2 jam.    Menurunkan risiko terjadinya iskemia jaringan akibat daerah yang tertekan.
Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak sakit.    Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot, serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan.
Inspeksi kulit bagian distal setiap hari.     Deteksi dini adanya gangguan sikulasi dan hilangnya sensasi risiko tinggi kerusakan integritas kulit kemungkinan komplikasi imobilitasi.
Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.    Untuk memelihara fleksibilitasi sendi sesuai kemampuan.
d.    Diagnosa 4
Tujuan:  dalam waktu 3x24 jam terjadi peningkatan perilaku dalam perawatan diri.
Kriteria hasil: klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri, klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan, mengidentifikasi personal/masyarakat yang dapat membantu.
Intervensi    Rasionalisasi
Mandiri
Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL.   
Membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan kebutuhan individual.
Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.    Bagi klien dalam keadaan cemas dan tergantung hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan harga diri klien.
Beri kesempatan untuk menolong diri     Mengurangi ketergantungan.
Kaji kemampuan komunikasi untuk BAB. Kemampuan menggunakan urinal, pispot. Antarkan ke kamar mandi     Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat menimbulkan masalah pengosongan kandung kemih oleh karena masalah neurogenik.
Indentifikasi kebiasaan BAB, anjurkan minum dan meningkatkan aktivitas.    Meningkatkan latihan dan menolong mencegah konstipasi
e.    Diagnosa 5
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam  klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengepresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.
Kriteria hasil: terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat di penuhi, klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Intervensi    Rasionalisasi
Kaji tipe disfungsi misalnya klien tidak mengerti tentang kata-kata atau masalah berbicara atau tidak mengerti bahasa sendiri.    Membantu menentukkan kerusakan area pada otak dan menentukan kesulitan klien dengan sebagaian atau seluruh proses komunikasi, klien mungkin mempunyai masalah dalam mengartikan kata-kata (afasia, area Wernicke, dan kerusakan pada area Broca).
Bedakan afasia dengan disatria.    Dapat menentukan pilihan intervensi sesuai dengan tipe gangguan.
Lakukan metode percakapan yang baik dan lengkap, beri kesempatan klien untuk mengklarifikasi.    Klien dapat kehilangan kemampuan untuk memantau ucapannya, komunikasinya secara tidak sadar, dengan melengkapi dapat merealisasikan pengertian klien dan dapat mengklarifikasikan percakapan.



Pilih metode komunikasi alternatif misalnya menulis pada papan tulis, menggambar, dan mendemonstrasikan  secara visual gerakan tangan.    Memberikan komunikasi dasar sesuai dengan situasi individu.
Bicarakan topik-topik tentang keluarga, pekerjaan, dan hobi.    Meningkatkan pengertian percakapan dan kesempatan untuk mempraktikan keterampilan praktis dalam berkomunikasi.
C.    Asuhan keperawatan kasus
1.    Kasus
Pada pagi jam 08.00 wib tanggal 08 Desember 2012, Tn. A dibawa ke rumah sakit soedarso. Tn A dibawa dikarenakan pingsan dikamar mandi setelah bangun. Keluarga pasien mengatakan ia tidak kejang dan sebelumnya pasien tidak pernah jatuh dan terbentur.  Klien telah dirawat di IGD selama 3 hari dan keadaan Tn A membaik sehingga dibawa ke ruangan melati. Tn A mengeluhkan tangan dan kaki sebelah kiri sulit untuk digerakkan. kemudian bicaranya pelo padahal sebelumnya tidak pelo. Klien mengatakan semua kebutuhannya ditolong oleh perawat dan keluarga











2.    Pola gordon
a.    Identitas
Nama    : Tn. A
Umur    : 45 tahun
Jenis Kelamin    : Laki-laki
Agama    : Islam
Bangsa/Suku    : Indonesia / Melayu
Pendidikan    : SMP
Status Pernikahan    : Sudah Menikah
Alamat    : Jln. Tanjung Raya 2 No.10
Ruang    : Melati
No. Rm    : 027321
Tanggal masuk    : 08 Desember 2012
Tanggal Pengkajian    : 11 Desember 2012
Diagnosa Medis    : Stroke Non Hemoragik
Penanggung Jawab    : Keluarga pasien
b.    Riwayat Kesehatan Klien:
1)    Kesehatan masa lalu:
Klien mengatakan ia mengalami penyakit hipertensi hingga sekarang.
2)    Riwayat kesehatan sekarang:
a)    Alasan utama masuk rumah sakit:
Keluarga klien mengatakan klien dibawa ke rumah sakit tanggal 08 Desember 2012, jam 07.30 wib dikarenakan pingsan dikamar mandi setelah bangun setalah pingsan klien sulit mengerakan tubuh bagian kiri dan berbicara sedikit pelo.
b)    Keluhan waktu di data
Tn A mengeluhkan tangan dan kaki sebelah kiri sulit untuk digerakkan. kemudian bicaranya pelo padahal sebelumnya tidak pelo. Klien mengatakan semua kebutuhannya ditolong oleh perawat dan keluarga

c.    Riwayat Kesehatan Keluarga:
Klien mengatakan ayahnya pernah mengalami penyakit hipertensi dan penyakit stroke dan meninggal dikarenakan stroke
d.    Genogram Keluarga





Keterangan
Laki-laki        :
Perempuan        :
Sudah meninggal    :
    Pasien        :
e.    Data Biologis
1)    Pola Nutrisi:
A : Antopometric measurement (pengukuran antopometri)
Klien memiliki berat badan 170 cm dengan berat badan 67 kg
B : Biomedical data (data biomedis)
Hasil laboraturium: Hb : 15 g/dl (14-18 g/dl), Ht : 45,3 % (40,7 %-50,3 %), Kreatinin :  0.68 mg/dl (0,5 – 1,5 mg/dl), ureum : 30 mg/dl  (20 – 40 mg/dl)
C : Clinical sign (tanda-tanda klinis status nutrisi)
Klien mengatakan lesu dan lemah. Kulit klien lembut dan lembab. Konjungtiva anemis. Rambut kusam dan kusut.
D : Dietary (diet)
Klien mengatakan sebelum sakit makan tiga kali sehari. sangat suka mengkonsumsi daging sapi. Klien mengatakan saat sakit klien susah untuk menelan makanan tetapi klien makan setengah piring klien mengatakan makan 3x sehari ingin sekali makan rendang sapi.
2)    Pola Minum:
Sebelum sakit :
Klien mengatakan :
-    klien minum air putih sekitar 8-10 gelas per hari
-    klien tidak suka mengkonsumsi minuman keras (beralkhohol).
-    klien hanya minum kopi setiap pagi sebelum pergi kesawah.
Saat sakit :
Klien mengatakan :
-    klien hanya minum air putih sekitar 6-8 gelas per hari
3)    Pola Eliminasi :
Sebelum sakit :
Klien mengatakan :
-    klien BAB dan BAK nya tak menentu per harinya berapa kali.
-    BAB nya tidak encer dan berwarna kuning.
-    BAK nya bewarna kuning pekat dan tidak berbau.
Saat sakit :
Klien mengatakan :
-    susah BAB, karna tidak bisa berjalan dan hanya di bantu perawat saat BAB diatas tempat tidur.
-    Karakteristik fesesnya tidak berubah, sama seperti saat sebelum sakit.
-    BAK nya sering namun, kencingnya melalui urinal kateter.
4)    Pola istirahat dan tidur :
Sebelum sakit :
Klien mengatakan pada malam tidur hanya sekitar 6-9 jam pada jam 21.00 – 05.00 wib dan siang hari tidur 2-3 jam waktunya tidak menentu
Saat sakit :
Klien mengatakan :
-    Klien mengatakan pada malam tidur hanya sekitar 6-9 jam waktu tidak menentu dan siang hari tidur 3-4 jam waktunya tidak menentu
f.    Pemeriksaan fisik
1)    head to toe
a)    keadaan umum :
klien tampak lemah dan sulit  mengerakan tubuh
b)    tingkat kesadaaran :
komposmentis E4M5V5 = 14
c)    Vital Sign    :
TD:  130/90 mmHg
Nadi:  70 x/mnt
RR:  20 x/mnt
Suhu:  36 oC
d)    Kepala s/d leher
Klien konjungtiva anemi - , ikterik -, tidak mengunakan otot bantu napas, muka klien asimetris
e)    Thorax     
Paru-paru   : Rhonki -/-
Wheezing -/-
Jantung      :  klien tidak terdengar bunyi S3 dan S4 dan tidak terdengar mur-mur jantung
f)    Abdomen
Hepar             :  tidak teraba
Lien                :  tidak teraba
Meteorismus     :  tidak ada
Bising usus        :  normal
g)    Ekstremitas
Oedem    :  tidak ada
Akral    :  hangat
2)    Syaraf kranial
a)    N.I (olfactorius)
Klien dapat mencium bebauan yang diberikan (tidak ada kelainan pada fungsi penciuman)
b)    N.II (opticus)       
Klien dapat melihat dan membaca bacaan dekat dengan baik, klien dapat melihat dan membaca snellen chart dengan baik lapang pandang 90o
c)    N.III, IV, VI (oculomotorius, trochlearis, abducen)
-    Kedudukan bola mata : tengah-tengah dan Ptosis  -/-
-    Pergerakan bola mata :
Ke nasal    :  +/+
Ke temporal    :  +/+
Ke atas    :  +/+
Ke bawah    :  +/+
-    Pupil
Bentuk                 :  bulat/bulat
Lebar                   :  + 3 mm / + 3 mm
Reaksi cahaya langsung     : +/+
d)    N.V. (trigeminus)
-    Cabang Motorik
Otot masseter                   :  lemah
Otot temporal                   :  lemah
-    Cabang Sensorik
maxilaris                    :  Normal
mandibularis              :  Normal
-    Reflek kornea langsung     :  Normal
e)    N.VII (Facialis)
-    Waktu Diam
Kerutan dahi    :  simetris / asimetris
Tinggi alis    :  simetris / asimetris
Sudut mata    :  simetris / simetris
-    Waktu Gerak
Mengerut dahi     :  simetris / lebih dangkal
Menutup mata    :  simetris / simetris
Bersiul                  :  simetris / asimetris
Memperlihatkan gigi    :  simetris / asimetris
Tersenyum     :  simetris / asimetris
Mengembungkan pipi    :  simetris / asimetris
f)    N.VIII (Vestibulocochlearis)
-    Vestibulo
Rinne dan webber :Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
-    Cochlearis
Romberg : Tidak dilakukan
g)    N.IX dan X (Glosophoryngeys dan Vagus)
-    Bagian Motorik
Suara                               : biasa
Menelan                           : sulit menelan
Kedudukan arcus pharynx     : Normal
Kedudukan uvula              : Normal
-    Bagian Sensorik
Reflek muntah                   :  +
Reflek palatum molle         :  Normal
h)    N. XI (Accesorius)
Mengangkat bahu               :  Normal / lemah
Memalingkan kepala           :  Normal / lemah
i)    N. XII (hypoglosus)
Kedudukan lidah waktu istirahat ke kiri, waktu gerak ke kiri, tidak terjadi atrofi otot lidah. Kekuatan lidah menekan bagian dalam pipi  N / N
3)    Sistem Motorik
Gerakan :        Kekuatan :
Bebas     Terbatas         5    2
Bebas     Terbatas         5    2

Tonus :        Trophi :
Normal    Hipotonus        5    2
Normal    Hipotonus        5    2
4)    Reflek-reflek
-    Reflek Fisiologis
Jenis refleks    Kanan    Kiri
Refleks biseps    Normal    Meningkat
Refleks triseps    Normal    Meningkat
Refleks achiles    Normal    Meningkat
Refleks patela    Normal    Meningkat
-    Reflek Patologis
Babinski    :  +
Chaddock       :  -
Oppenheim    :  -
Gordon           :  -
Gonda         :  -
Schaffer      :  -
5)    Susunan saraf otonom
Miksi               :  Normal
Defekasi               :  Normal
Salivasi           :  Normal
Sekresi keringat      :  Normal
g.    Data Psikososial :
1)    Status emosi.
Klien tampak tenang selama sakit dan selalu ditemani keluarga
2)    Konsep diri.
klien mengatakan bangga sebagai kepala keluarga, klien mengatakan tidak malu dengan keadaanya sekarang karena selalu dijengguk ddan dimotivasi oleh keluarga
3)    Gaya komunikasi
Klien berbicara pelo, kurang jelas dengan intonasi yang sedang
4)    Pola interaksi
Klien dapat berinteraksi dengan baik dengan perawat dan keluarga selama sakit
h.    Data Sosial :
1)    Pendidikan pendidikan terakhir klien SMP
2)    Hubungan sosial
klien mengatakan sebelum sakit aktif dalam kegiatan masyarakat dan saat sakit klien pernah dijengguk dan dimotivasi oleh masyarakat
3)    Sosiokultural
Klien tidak memiliki kebudayaan pada sakit yang bertentangan dengan kesehatan.
4)    Gaya hidup
Klien mengatakan tidak minum-minuman keras
klien merokok 2 bungkus rokok saat sakit setiap hari dan minum kopi 1 gelas setiap pagi
i.    Data Spiritual :
Sebelum: klien mengatakan sering sholat 5 waktu dan mengikuti pengajian setiap minggu
Saat sakit: klien mengatakan sulit beribadah tetapi klien mencoba untuk selalu sholat, klien dan keluarga mengkaji tiap malam
j.    Data Penunjang :
Cholesterol        :  211 mg/dl
Trigliserida        :  100 mg/dl
Cholesterol LDL        :  157 mg/dl
Cholesterol HDL        :  34 mg / dl
BUN        :  9 mg/dl
Kreatinin        :  0.68 mg/dl
SGOT        :  25 u/l
SGPT        :  16 u/l


3.    Analisa data
No     Data senjang    Etiologi     Problem
1    DS:
klien mengatakan sulit mengerakan badan, tangan dan kaki bagian kiri
Klien mengatakan sulit untuk berdiri dan perlu dibantu perawat dan keluarga
DO:
Klien tampak lemah, tingkat kesadaran komposmentis
Kekuatan otot dan gerakan:


    kelemahan neuromuskular pada ekstermitas
























    Hambatan mobilitas fisik
2    DS:
Klien mengatakan semua aktivitas sehari-hari dibantu perawat dan keluarga
Klien mengatakan sulit mengerakan tubuh sehingga menganggu ADL nya
DO:
klien tampak lemah dan lesu
klien tampak menggaruk tubuhnya dan kulit klien tampak kemerahan
klien mengatakan baru mandi satu kali selama dirawat di RS
Klien susah memenuhi ADL nya sendiri sehingga sering di bantu keluarga    kelemahan neuromuskular    Defisit perawatan diri
3    DS:
Klien mengatakan sulit berbicara dengan perawat dan keluarga
DO:
Klien berbicara pelo, kurang jelas dengan intonasi yang sedang
Otot masseter klien lemah dan otot temporal klien lemah
Kedudukan lidah sebelum dan sesudah digerakan ke kanan    kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral    Kerusakan komunikasi verbal



4.    Rencana keperawatan
No     Diagnosa keperawatan    Tujuan dan kriteria hasil    Implementasi     Rasional
1    Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan neuromuskular pada ekstermitas ditandai dengan
DS:
klien mengatakan sulit mengerakan badan, tangan dan kaki bagian kiri
Klien mengatakan sulit untuk berdiri dan perlu dibantu perawat dan keluarga
DO:
Klien tampak lemah, tingkat kesadaran komposmentis
Kekuatan otot dan gerakan:
     klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya. Setelah dilakukan tindakan selama 3x 24 jam dengan kriteria hasil:
-    klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi kontarktur sendi
-    meningkatnya kekuatan otot
-    klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.    -    Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan.
-    Ubah posisi klien setiap 2 jam.
-    Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak sakit.
-    Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.
    -    Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
-    Menurunkan risiko luka tekan.
-    Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot
-    Untuk memelihara fleksibilitasi sendi sesuai kemampuan
2    Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan neuromuskular ditandai dengan:
DS:
Klien mengatakan semua aktivitas sehari-hari dibantu perawat dan keluarga
Klien mengatakan sulit mengerakan tubuh sehingga menganggu ADL nya
DO:
klien tampak lemah dan lesu
klien tampak menggaruk tubuhnya dan kulit klien tampak kemerahan
klien mengatakan baru mandi satu kali selama dirawat di RS
Klien susah memenuhi ADL nya sendiri sehingga sering di bantu keluarga    terjadi peningkatan perilaku dalam perawatan diri klien, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam dengan kriteria hasil:
-    klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan
-    mengidentifikasi personal/masyarakat yang dapat membantu.
-    Klien tidak lemah dalam memenuhi ADLnya    -    Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL.
-    Beri kesempatan untuk menolong diri
-    Kaji kemampuan komunikasi untuk BAB. Kemampuan menggunakan urinal, pispot. Antarkan ke kamar mandi
-    Indentifikasi kebiasaan BAB, anjurkan minum dan meningkatkan aktivitas    -    Membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan kebutuhan individual.
-    Mengurangi ketergantungan.
-    Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat menimbulkan masalah pengosongan kandung kemih oleh karena masalah neurogenik.
-    Meningkatkan latihan dan menolong mencegah konstipasi
3    Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral ditandai dengan:
DS:
Klien mengatakan sulit berbicara dengan perawat dan keluarga
DO:
Klien berbicara pelo, kurang jelas dengan intonasi yang sedang
Otot masseter klien lemah dan otot temporal klien lemah
Kedudukan lidah sebelum dan sesudah digerakan ke kanan    klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengepresikan perasaannya. Setelah dilakukan keperawatan selama 2x24 jam dengan kriteria hasil:
-    terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat di penuhi
-    klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.    -    Lakukan metode percakapan yang baik dan lengkap, beri kesempatan klien untuk mengklarifikasi.
-    Pilih metode komunikasi alternatif misalnya menulis pada papan tulis, Bicarakan topik-topik tentang keluarga, pekerjaan, dan hobi.
-    Lakukan terapi berbicara secara bertahap sesuai tingkat komunikasi klien    -    Klien dapat kehilangan kemampuan untuk memantau ucapannya.
-    Memberikan komunikasi dasar sesuai dengan situasi individu.
-    Meningkatkan pengertian percakapan dan kesempatan untuk berkomunikasi
-    Agar klien dapat mempraktikan keterampilan praktis dalam berkomunikasi



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

B.    Kesimpulan
Di indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat. Saat ini stroke menempati urutan ketiga sebagai penyakit mematikan setelah penyakit jantung dan kanker, sedangkan di indonesia stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di rumah sakit. Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah kebagian otak.Penyebabnya adalah trombosis, embolisme serebral, iskemia dan hemoragi serebral. Stroke dapat mengakibatkan banyak kerugian dari penderita dan keluarga. Bahkan penyakit ini dapat mengakibatkan kematian. Penangganan pada klien yang menderita stroke haruslah cepat, tepat dan akurat untuk meminimalkan kecacatan yang diakibatkan.

C.    Saran
Saran yang disampaikan adalah agar mahasiswa lebih memahami konsep penyakit stroke dan asuhan keperawatan pada klien dengan stroke serta mendalami penangganan pasien dengan stroke


Daftar Pustaka

Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 4. Jakarta. Interna Publishing.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Doengoes, Marlyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien: Jakata. Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2, Jakarta: Media Aesculapius.
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC